Lewat semusim lalu auditoriku di jengah pujuk mesra suara halus mulus berbisik tentang kebesaran pencipta.
Lalu tika aku mula mengenal DIA terbujur kaku dalam ruang retinaku jasad kelu tanpa bahasa yang ada cuma bicara sama tika lewat semusim lalu menjengah kembali cuma kali ini aku melihat mereka sujud penuh setia.
Hati kecil ini bertanya kenapa? kenapa? kenapa?
Kutinggalkan soal semusim lalu dalam kembara ke dataran sepi disini bicaranya banyak sekali terkadang ada yang menyanyi alunan lagu berlirikkan noda dan nista sambil komposer yang bangga menjabat dua tangannya bersama si pembeli tiket lupa barangkali ini caranya mengisi rongga jiwa yang batil.
Tanpa sedar dan lupa bicara alam yang fasih lagi murka buat penganjur remang senja yang setia dalam dakap peluk kumulus birunya buat angin yang derunya semakin resah demi menatap ulah seisi jagat raya.
Hari ini pada dataran yang mencipta semalam tiada lagi alunan lirik komposer yang bangga yang tinggal cuma ratap tangis si pembeli tiket lupa meruntun jiwa demi melihat alam yang fasih dan murka merontok membawa bersama kebatilan, noda dan nista lagu kesukaannya.
Lalu untuk kesekian kalinya tanpa sedar dan lupa pada mimbar yang menyaksikan persaksian diulangi kulihat si pembeli tiket lupa melaungkan kebesaran pencipta dalam azannya kulihat si pembeli tiket lupa menyembah pencipta dalam solatnya
Barangkali ini jawapnya pada desir angin semusim lalu antara azan dan solat jaraknya sesingkat cuma persis usia si pembeli tiket lupa disember yang basah menyaksi segala