SEKALI-sekali janganlah menduga bahwa saya akan mengisi catatan budaya kali ini dengan ulasan di seputar hantu. Bukan karena mahluk itu tidak menarik untuk diwacanakan, tapi saya memang belum cukup memiliki referensi dan pengetahuan tentang hal-hal yang gaib seperti itu. Tapi rasa takut dan ngeri lebih mendorong saya untuk tidak sekali-kali punya keinginan mencari pengetahuan perihalnya, apalagi menjadikannya sebagai pengalaman nyata. Jangankan pada segala sesuatu yang urusannya dengan mahluk-mahluk gaib semacam itu, urusan tentang manusia saja sering kalah mengerikannya. Dia sering juga jadi hantu, mengaibkan hal-hal yang nyata. Korupsi, misalnya, atau menculik dan membunuh.
Ketimbang mengamati hantu atau orang hidup yang perangainya sudah jadi hantu, saya lebih tertarik mengamati orang-orang yang menyukai hal-hal yang ada hubungannya dengan hantu. Mungkin tidak hanya film, seperti Jailangkung, Kafir atau Titik Hitam, atau tayangkan yang marak di stasiun-stasiun televisi. Tapi juga bacaan-bacaan, seperti sebuah majalah yang khusus hanya berisikan misteri dunia alam gaib. Dalam angkot atau bis kota, bukan sekali dua kita menemukan orang yang sedang menenteng dan membacanya. Majalah itu konon laris dan disukai. Demikian juga obrolan tentang pengalaman-pengalaman misterius yang disiarkan oleh sebuah stasiun radio di kota ini. Dalam kenyataan seperti itulah saya berpikir dan bertanya-tanya, apakah hantu itu tahu kalau dia sedang dimanfaatkan?
Semuanya sudah jadi komoditas, termasuk hantu. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta berani-beraninya menjadikan hantu itu sebagai kuis dengan hadiah sepeda motor. Tapi ini bukan soal baru juga. Sejak dulu hantu memang selalu dimanfaatkan. Selain banyak orang memanfaatkan perilaku dan sifatnya yang gaib dan misterius serta tak masuk akal, terutama oleh elite politik yang rakus kuasa, juga banyak yang memakainya sebagai barang dagangan. Hantu memang selalu mendatangkan rasa takut dan ngeri, dan itulah yang dijual. Memvisualisasikan imajinasi-imasinasi ketakutan pada sesuatu yang irasional, ternyata menjelaskan bahwa ketakutan itu bukan mitos. Ia bisa dinyatakan, dikonkretkan, bahkan terus diproduksi, dikomodifikasi dan dijual. Sejak dulu banyak sekali film-film hantu diputar. Demikian pula cerita-cerita tentang hantu atau mahluk gaib yang dihubungkan dengan suatu tempat. Dan ini selalu menarik.
Dan itulah soalnya, mengapa banyak orang takut pada hantu, tapi sekaligus juga sangat menyukai cerita-cerita tentang hantu atau segala sesuatu yang misterius itu? Sama halnya dengan ketakutan dan ketidaksenangan orang pada siapapun yang jadi pelaku pembunuhan atau pemerkosaan, tapi mereka sangat menaruh minat pada cerita tentang peristiwa-peristiwa seperti itu. Tayangan-tayangan televisi seperti "Derap Hukum" atau "Fakta", yang mengangkat peristiwa peristiwa kekerasan seperti pembunuhan atau pemerkosaan, ternyata sangat diminati. Sebuah tabloid wanita bahkan memiliki beberapa halaman khusus untuk mengangkat peristiwa semacam itu.
Barangkali kenyataan inilah yang ingin diungkapkan oleh tokoh kontroversial seperti Si Kabayan di balik keheranannya memperhatikan kebiasaan manusia. "Manusia itu selalu ingin minum kopi dengan air panas, tapi lalu malah kopi itu ditiup-tiupnya. Lalu dia membeli dan menyalakan petasan. Petasan dinyalakannya agar meledak, tapi mereka malah menyumbat telinga mereka."
Tepat tidaknya ilustrasi keheranan Si Kabayan itu, yang hendak dikatakan sesungguhnya adalah sikap serba paradoks dalam kebiasaan manusia. Paradoks semacam ini bahkan bisa dilihat dalam realitas psikologisnya sehari-hari yang masokhis. Lihatlah, bagaimana orang tersiksanya ketika makan sambal tapi menyukai dan menikmatinya.
Orang pun takut dengan hantu, tapi ketakutan itu ternyata selalu mendatangkan ketertarikan. Sejak dulu hantu memang sudah dikenal dalam berbagai konteks kebudayaan. Setiap bangsa dan kebudayaannya mengenal mahluk-mahluk halus seperti hantu dengan berbagai penamaannya. Dan itu terus hidup di alam bawah sadar manusia-manusia modern seperti sekarang. Seorang kawan mengatakan, besarnya minat banyak orang pada segala sesuatu yang menyangkut hantu dan kehidupan-kehidupan alam "lain", menegaskan bagaimana tipisnya jarak antara rasionalitas dan irasionalitas.
"Bahkan yang irasional pun telah menjadi rasional. Atau bahkan, identifikasi keduanya pun menjadi tidak lagi jelas. Dan ini jangan dikira hanya terjadi di kalangan masyarakat awam kebanyakan, tapi juga bisa dilakukan oleh seorang Mentri Agama!"
"Atau oleh mereka yang ingin naik pangkat dan jabatan. Datang dan percaya pada dukun yang istilahnya diganti jadi paranormal itu, sambil mengatakan bahwa ia tak percaya pada klenik,"celetuk saya.
Hantu adalah bagian dari kebudayaan, diakui atau tidak. Paling tidak ia adalah representasi dari imajinasi-imajinasi ketakutan kita pada segala sesuatu yang menyangkut kehidupan gaib, seperti kematian. Karena itulah kuburan selalu dicitrakan sebagai tempat yang paling menakutkan. Dengan kata lain, hantu adalah wujud dari ketakutan kita pada apa yang tak bisa terjelaskan namun ada dan mengancam. Dan di negara inipun banyak sekali hantu. Bahkan bagian mana lagikah di negeri yang bukan hantu?
__________________
Hidup Mesti Di Teruskan.....Hidup ini Penuh Dengan CabaraN..Berhati Hati....
malas nak baca panjang sangat.....lagi pun (aku tanya sikit le?) kau ni Indon ke....kalau ye pun alih bahasa kan ke bahasa belanda ke...bahasa inca purba ke...